Minggu, 01 Juni 2014

feminisme yang terdapat dalam novel "Tenggelamnya kapal Van der wijck"



Analisis kritik sastra feminis
terhadap penokohan, latar, judul, dan
 gaya bahasa dalam tenggelamnya kapal van der wijck

Analisis struktur novel yang telah diuraikan pada tugas sebelumnya memuat beberapa masalah, diantaranya masalah sosial, kebudayaan, agama dan adat istiadat. Masalah tersebut pada intinya mempunyai persamaan yaitu timbul karena adanya perbedaan pandangan. Selain mempunyai persamaan keempat masalah yang ada dalam tenggelamnya kapal van der wijck juga saling bethubungan dan apabila dilihat dari sudut pandang feminisme berarti menyaran pada masalah emansipasi perempuan.
Pada uraian ini akan dijelaskan masalah feminisme berupa pokok-pokok pikiran feminisme yang diawali dengan mengungkapkan bias gender yang dapat dalam masyarakat dan emansipasi hayati sebagai perempuan. Selanjutnya diuraikan figur tokoh profeminis dan kontra feminis, latar sosial, judul dan gaya bahasa dalam tenggelamnya kapal van der wijck dengan spektif feminis. Analisis ini diakhiri dengan mengungkapkan citra perempuan dalam tenggelamnya kapal van der wijck.

A.     Masalah Feminisme Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Masalah feminisme dalam tenggelamnya kapal van der wijck karena adanya kesadaran para tokoh terhadap adanya bias gender yang hidup dalam masyarakat. Bias gender terdiri atas dua kata. Bias berarti simpangan (TPK, 1999:129). Echol & Sadli (1996:630) mengartikan bias sebagai prasangka, sedangkan biased yang tergolong kata sifat berarti berat sebelah atau condong berprasangka.
Konstruksi sosial yang melahirkan perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan bias gender yang oleh Fakih (1999:12) disebut sebagai ketidak adilan, terutama terhadap kaum perempuan. Ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau  anggapan tidak penting dalam keputusan pollitik, pembentukan melalui stereotype atau melalui pelabelan negative, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideology nilai peran gender (Fakih, 1999:12-13).

1.      Masalah feminisme Yang Terungkap Dalam Penokohan
Bias gender yang pertama yang terungkap dalam penokohan ialah kesangsian seorang mamak terhadap kemampuan perempuan/kemenakannya. Hal ini dapat diketahui  dari sikap mamak terhadap kemampuan kemenakannya yang tinggal di selingkungan kampung. Ia menyangsikan bahwa kemenakan itu dapat beradaptasi dengan cara menuntut ilmu agama sekali se-jumat (23). Berikut kutipan suasana kampung tempat tinggalnya: “meskipun adat masih kuat, namun gelora pelajaran dan kemajuan agama yang telah berpengaruh di Sumatra Barat, tidak juga melepaskan rumah adat yang kokoh itu dari cengkramannya. Meskipun kehendak dari mamak dari yang tua-tua hendak menahan juga anak kemnakannya yang perempuan menuntut ilmu, namun halangan itu percuma saja. Gadis-gadis seisi rumah itu, yang selama ini turun se-jumat diiringi dayang-dayang banyak, sekarang telah mengepitt kitab, melilitkan selendang pula pergi menuntut ilmu” (hlm.23).
Pengertian adaptasi yang digunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk suatu proses makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitar dalam ilmu sosiologi disebut dengan akomodasi. Istilah akomodasi digunakan dalam arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk suatu proses. Akomodasi menunjuk pada suatu proses keadaan berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium) interaksi antara orang per orang dan kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma ssosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Bias kedua yang terungkap dalam penokohan ini adalah mengenai masalah cinta yang dapat membuat perempuan kehilangan kepribadiannya. Percintaan antara Hayati dan Zainuddin yang merupakan salah satu hal yang telah menghadirkan suasana romantik
Hayati adalah figur perempuan yang dapat berubah kepribadiannya oleh karena cinta. Hayati berwatak mudah terpengaruh, yang bergantung kepada kata-kata temannya si kadijah. Yang asal mulanya ia suka memakai baju kebaya, akhirnya Hayati mau saja menukar pakaian adatnya (baju kebaya) dengan pakaian modern yang kelihatan agak seksi, yang kelihatan pangkal dadanya, hayati beranggapan bahwa pakaian itu bisa menarik perhatian Zainuddin dari pada pakain kebaya yang dimilikinya (hal. 72). Berbeda dengan Kadijah, Hayati yang suka dengan pakai adat (kebaya), sedangkan kadijah tidak suka sama sekali, karena dianggap sudah kuno atau pakaian kampong, yang tidak bias menandingi pakaian kota.
Konflik antara Hayati dan Kadhijah mengenai masalah pakaian membuat perbedaan antara Hayati dan Kadijah semakin terlihat. Pada konflik tersebut kadijah menjelaskan kepribadiannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah mengapa Hayati dan Kadijah berbeda, padahal keduanya sama-sama orang padang panjang/minang kabau yang memiliki aturan yang sama. Disini tampak bahwa kekurangan novel ini adalah tidak memberikan gambaran peraturan adat masa lalu. Misalnya menggambarkan bagaimana aturan pemakaian baju yang harus diikuti oleh ibu-ibu mereka diwaktu dulu. Dari perbedaan tersebut sipembaca bisa mengetahui atau menilai pola pikir yang dimiliki masing-masing tokoh tersebut berbeda.
Bias ketiga yang terdapat dalam novel ini adalah sifat perempuan yang memiliki keberanian yang tinggi dari pada laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari, beraninya Hayati dan suaminya(aziz) datang kerumah zainnuddin, padahal hati Zainuddin disaat itu sakit sekali karena orang yang dicintainya nikah dengan orang lain. dan pada saat itu pulalah Hayati datang membawa suaminya kerumah zainuddin untuk melihat Zainuddin yang sedang sakit. Berikut kutipan ceritanya:
pagi-pagi pukul 9 berhentilah bendi Hayati dimuka rumah Zainuddin di silaing, dia diiringi oleh suaminya Aziz yang kelihatan nyata dimuknya bahwa ia amat keberatan. (hal 134)”
Dari prilaku Hayati tersebut pembaca dapat menilai bahwa hayati tersebut adalah perempuan yang pemberani.
Bias keempat yang terdapat dalam novel ini adalah sifat perempuan yang tidak bisa mempertahankan perasaanya terhadap laki-laki. Disini digambarkan bahwa hayati tidak bisa mempertahankan rasa cintanya kepada zainuddin, karena mamak Hayati tidak setuju kemenakannya kawin dengan zainuddin. Mamaknya memaksa nikah dengan Aziz. Dikarenakan Aziz adalah orang minang asli, sedangkan Zainuddin adalah orang luar atau bukan orang minang masuk  atau tinggal ditanah minang. Dari keputusan tersebut Hayati hanya bias menerima keputusan mamaknya dan tidak bias mempertahankan rasa cintanya terhadap Zainuddin.

2.      Masalah Feminisme Yang Terkandung Dalam Latar
Masalah feminisme yang terdapat dalam novel ini salah satunya ditekankan pada latar budaya. Bias gender yang terdapat dalam ini ialah pemahaman antara perbedaan adat minang kabau dengan adat mengkasar, hak inilah yang membuat seorang perempuan minang kabau tidak bisa menikahi laki-laki yang berasal dari suku mengkasar atau bukan suku dari minang. hal inilah yang menimbulkan rasa cinta Hayati ke Zainuddin menjadi putus.
Dengan demikian, sering kali dari perempuan diperoleh kesan bahwa mereka kurang percaya diri, atau kurang berpendirian . ketika rasa cintanya tumbuh maka dia tidak bisa untuk mempertahankannya, mereka kelihatan ragu-ragu dalam mengambil suatu keputusan. Keraguan seperti ini biasa terjadi, karena seorang perempuan yang sedang jatuh cinta menganggap bahwa keberhasilan dalam mengambil suatu keputusan tidak akan sejalan dengan persaan yang sedang dirasakan.
Hal ini dapat terlihat pada saat mamak-mamak Hayati mengadakan rapat ditengah rumah, dalam rangka untuk mencarikan jodoh untuk hayati. Mamak-mamak menegaskan bahwa jodoh yang cocok untuk Hayati adalah Aziz. Pada saat tengah  mamak itu membicarakan tentang kehidupan aziz, tiba-tiba   menjawab bahwasannya Hayati masih sangat cinta terhadap Zainuddin, mendengar pembicaraan tersebut semua mamak dan yang ikut hadir(urang sumando) tercengang-cengang mendengarnya (hal103).
Dari peristiwa diatas maka marginalisasi perempuan menjadikan perempuan sebagai warga kelas kedua yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Dikotomi nature dan culture telah digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan strafikasi antara perempuan dan laki-laki. Perempuan yang mewakili sifat alam (nature) harus ditunjukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimbangan hubungan antara perempuan dan laki-laki. Implikasi dari konsep dan kommon sense tentang pemosisian yang tidak seimbang telah menjadikan kekuatan didalam pemisahan sektor kehidupan, yaitu domestik dan publik. Perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik dan laki-laki ditempatkan sebagai kelompok yang berhak mengisi sector public (Abdullah, 1997:3-4). Dengan demikian tenggelamnya kapal van der wijck terdapat ideologi gender yang membedakan perempuan dengan laki-laki bukan hanya berdasarkan jenis kelamin, melainkan juga berdasarkan peranan setiap jenis kelamin. Akhirnya, masyarkat diberi kesan bahwa perempuan terlalu memilih pekerjaan yanh tidak kerja keras dan jadwal waktu yang ketat. Kaum perempuan kemudian juga dianggap peragu, kurang percaya diri, tergantunmg dan mudah menyerah kepada keadaan (Soeripto Via Salim, 1999:5).

3.      Masalah Feminisme Yang Terdapat Dalam Judul
Penggunaan nama “kapal”  mempunyai makna yaitu merupakan sebuah alat transportasi yang digunakan dalam peristiwa yang diceritakan dalam novel ini. Sedangkan penggunaan kata “tenggelam” telah diketahui bahwa “hancurnya” kapal tersebut.
Dari judul dapat kita ketahui bahwa novel ini bukan sekedar perintang waktu, melainkan sebuah novel bertedensi. Dalam judul ini disimbolkan peranan wanita hanya sebagi sosok seorang gadis yang tenggelam dalam rasa cinta dan pengorbanan yang sia-sia.

4.      Masalah Feminisme Yang Terungkap Dalam Gaya Bahasa
Perempuan dimasa lalu dilukiskan oleh Hayati sebagai makhluk yang mudah menurut kata laki-laki. Hayati yang dikenal penurut yang tidak bisa mengambil keputusan  suatu (128).
Terdapat beberapa penjelasan kenapa dimasa lalu perempuan selalu menurutkan kata laki-laki. Pertama, perempuan tidak mempunyai pikiran sendiri, kedua, perempuan tidak mempunyai pandangan sendiri, ketiga perempuan tidak mempunyai hidup sendiri. Sifat penurut itu adalah jalan menuju cinta, kesungguhan hati menuju kasih saying dan setia membangkitkan kepercayaan. Bukan keturunan  bukan kekayaan dan kecantikan yang menjadi tiang perkawinan. Hanyalah semata-mata sifat penurut penyesuaian diri akan kemauan laki-laki/suami kepandaian menjaga dan merahasiakan yang tak usah diketahui orang lain, hanya itulah yang harus dipelajari.

B.      Emansipai
Emansipasi adalah perjuangan seorang/tokoh perempuan dalam memperjuangkan hak-hak wanita. Perjuangan  perempuan berarti pelepasan diri perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah yang membatasi kemungkinan untuk perkembangan dan kemajuan (TPK, 1999:258).
Jadi pda novel tenggelamnya kapal  van der wijck ini tidak ada digambarkan atau diperankan bagaimana Emansipasi wanita tersebut. Pada novel ini dilihatkan hanya perjuangan seorang lelaki dalam mencari jati dirinya. Ibu Zainuddin yang berasal dari kota mengkasar sedangkan ayahnya berasal dari Minang Kabau. Pada saat  Zainuddin masih kecil ibunya meninggalkannya untuk selama-lamanya (hal:10). Berikut kutipan ceritanya:
“`ini dia daeng,` ujarku lalu engkau kuambil, ah zainuddin engkau masih ketawa aja diwaktu itu, tak engkau ketahui bahwa ibumu akan meninggalkanmu untuk selama-lamnya, engkau tertawa dan melonjak-lonjak dalam pangkuanku. Aku bawa engkau kemukanya. Maka dibarutnyalah sebarut badanmu dengan tangannya yang tinggal jengat pemalut tulang, digamitnya pula ayahmu, ayahmu yang matanya yang telah balut itupun mendekat pula. Ia  berbisik ketelinga ayahmu: Jaga Zainuddin Daeng” (hal:11)
Kutipan diatas menggambarkan waktu atau kisah dimasa lalu, yang pada saat Zainuddin masih kecil dan saat itu ibunya akan meninggalkan Zainuddin untuk selama-lamanya.
Setelah Zainuddin besar dan ia pun ingin mencari keluarga ayahnya atau mandenya ke Minang Kabau. Zainuddin berusaha bagaimanapun juga dia akan pergi ke Padang Panjang untuk bertemu mandenya. Sebelum dia berangkat Zainuddin telah mengetahui tentang sistem keturunan di Minang Kabau yang keturunannya menurut ibu, sedangkan di Mengkasar menurut keturunan ayah. Zainuddin yang beribukan kepada orang Mengkasar, ia yakin bahwa saat pergi ke Padang Panjang ke tempat mandenya, ia pasti diterima dengan senang hati.
Setelah Zainuudin sampai dipadang panjang iapun bertemu dengan mandenya, mendenya menerima dengan senang hati karena ia kedatangan pemuda yang gagah dan beran.i ia seakan merasa bintang jatuh dari langit, karena tak menyangka-nyangka ia memperoleh anak muda (hal:20).
Setelah lama tinggal dirumah mandenya Zainuddin pindah dan tinggal sendiri dirumah yang tak jauh dari kampong mandenya itu, karena Zainuddin merasa tidak senang karena ia dikatakan orang-orang sekampung dia orang pendatang dan bukan dianggap sebagai orang Minang atau ketrunuan Minang Kabau.
Dari peristiwa diatas tampaklah perjuangan Zainuddin dalam mencari jati dirinya dan mencari nenek monyangnya. ia ingin sekali tinggal bersama mande dan bakonya di padang panjang, tetapi karena orang-orang diseklilingnya mengatakan orang pendatang maka dia pindah dan tinggal sendiri dirumah yang tak  jauh dari rumah mandenya.

Emansipasi Perempuan Yang Muncul Dalam Latar Sosial
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa seks atau jenis kelamin bersifat kodrat, yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat diubah. Demikian pula maka diketahui bahwa seorang manusia lahir dengan struktur biologis yang lengkap termasuk otak untuk berpikir, harus diakui pula bahwa hal tersebut merupakan kodrat. Dengan demikian kemampuan berpikir harus diakui dimiliki oleh setap manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki pemikiran sendiri, dan hidup sendiri. Kontruksi sosiallah yang telah merubahnya sehingga perempuan berada dalam subordinassi laki-laki da tidak mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu sendiri.
Pada novel tenggelamnya kapal van der wijck tidak terlihat emansipasi perempuan dalam latar sosial maupun budaya. Pada novel tenggelamnya kapal van der wijck hanya gambarkan perjuangan laki-laki dalam latasr sosial. Zainuddin yang tinggal di Padang Panjang dan di anggap oleh orang sekampung sebagai orang pendatang dan tidak diakui sebagai garis keturunan dari nenek monyangnya. Dari peristiwa tersebut Zainuddin tetap tinggal dan bertahan di Padang Panjang meskipun keadaanya seperti itu (hal:20). Berikut kutipannya:
“mula-mula datang sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai kenegeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan-kesebulan, kegembiraan itu hilang sebab rupanya yang dikenang-kenang berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati mbak base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda, bykan orang tak suka kepadanya tetapi suka saja, tetapi berlainan kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minang Kabau tulen, di massih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang bugis orang mengkasar” (hal:20)

C.       Para Tokoh Perempuan: Profeminis Dan Kontra Feminis
Dalam subbab penokohan, telah diuraikan perbedaan antara Hayati dan Kadijah.  Akan tetapi mereka akan mempunyai titik dan tujuan yang sama, yaitu pribadi mereka sebagai seorang gadis yang telah memenuhi ciri-ciri kedewasaan. Menurut Kartini-Kartono(1922:170-171), ciri-ciri kedewasaan seorang anak gadis diantaranya ialah mempunyai rencana dan tujuan hidup, mempunyai kerja atau karya, bertanggung jawab terhadap apa yang dibuat oleh dirinya, mandiri, berpartisipasi dan konstruktif sebagai warga masyarakat, dan berkepribadian stabil.
Meskipun memiliki ciri-ciri yang sama, ciri-ciri kedewasaan tersebut diekspresikan secara berbeda oleh keduanya karena mereka mempunyai interpretasi sendiri terhadap makna tujuan hidup, kerja, tanggung jawab, mandiri, amsyarakat dan kepribadian. Hal inilah yang dapat membedakan keduanya dalam golongan profeminis dan kontrafeminis. Tokoh profeminis menggolongkan tokoh yang setuju dan memperjuankan ide feminis. Sedangkan kontra feminis digunakan untuk menggolongkan tokoh yang tidak memperjuangkan, bahkan menentang ide feminis.
Analisis terhadap tokoh profeminis dan kontarafeminis ini dibagi dalam dua bagian. Yang pertama adalah analisis terhadap tokoh-tokoh profeminis. Yang kedua adalah analisis terhadap tokoh-tokoh kontrafeminis yang berfungsi menunjukkan perbedaannya dengan tokoh-tokoh profeminis. Bagian terakhir adalah ungkapan citra perempuan dari tenggelamnya kapal van der wijck.

1.      Tokoh-Tokoh Profeminis
Menurut kartini-kartono (1922:217), ada pribadi-pribadi tertentu yang sangat egosenteris dan egoistis dengan rasa keakuan dan cinta diri sendiri yang berlebihan. Cinta diri yang sedang adalah normal, bahkan sangat perlu untuk mempertahankan harga diri dan harkat pribadi. Akan tetapi, jika narsisme dan egoism ini sangat ektrim, sifat-sifat tersebut pasti akan mempersukar daya menyesuaikan diri seseorang terhadap orang lain.
Dalam tenggelamya kapal van der wijck tokoh utamanya (Hayati) mendukung sekali feminism, terutama tentang pakaian adat/budaya yang dimilikinya. Berikut kutipan ceritanya:
“Hayati melihat kepada kadijah tenang-tenang. Tercengang dia melihat pakaian yang dipakai oleh sahabatnya itu, kebaya pendek yang jarang dari pola halus, dadanya terbuka seperempat, menurut mode yang paling baru. Kutangpun model baru pula sehinggaa agak jelas pangkal susu, dan tidak memakai salendang, sarung adalah batik pekalongan halus, bersolop tinggi tumit pula, ditangan memegang sebuah tas, yang didalamnya cukup tersimopan cermin dan pupur” (hal:72-73).
Dari kutipan diatas terlihat Hayati tidak menyetujui pakaian model baru itu, karena bertentangan dengan kebudayaan di Minang Kabau. Bahkan disaat ia disuruh kadijah memakai baju itu bahkan ia menolak. Berdasarkan prinsip Hayati tersebut, maka Hayati termasuk profeminisme yang digambarkan dalam tenggelamnya kapal van der wijck.

2.      Tokoh-Tokoh Kontrafeminis
Dalam tenggelamnya kapal van der wijck terdapat beberapa kontrafeminis. Yang utama adalah Kadijah. Kadijah tidak suka dengan sifat Hayati sebagai profeminis. Ia sangat menentang tentang pendapat Hayati yang masih memakai pakaian lama. Dalam tenggelamnya kapal van der wijck Kadijah menentang pakain Hayati yang seperti pakaian jadul atau ketinggalan. Barikut kutipan ceritanya:
“merengut kadijah sekali: “lebih baik kau pergi kesurau saja Hayati jangan kepacuan!!”
“saya malu memakai pakaian demikian, khadijah, tidak cocok dengan diriku aku tidak bias.
“itulah yang akan dibiasakan.”
“pakaian ini tidak diadatkan dinegeri kita.”
“dahulu yang tidak, kini inilah pakaian yang lazim.”
“saya tidak mau membuka rambut.”
“membuka rambut apakah salahnya? Bukankah panas kalau ditutup saja?”
“sebetulnya saya tidak punya pakaian demikian kata hayati pula”
Itu gampang, pakailah pakaianku, itu tersedia dalam lemari. Berapa saja kamu mau.” (hal:73)
Dari peristiwa diatas Nampak bahwa khadijah menentang bahwa budaya lama atau kebiasaan lama tidak bisa dipakai lagi untuk zaman modern seperti sekarang. Karena apabila memakai pakaian yang kuno akan menyebabkan kita ketinggalan zaman. Jadi khadijah memaksa Hayati untuk memakai pakaian yang model baru yang kelihatan pangkal susunya, yang akan bisa menarik perhatian anak muda sekarang.
Dengan melihat sifat Khadijah seperti itu akhirnya Hayati mau juga memakai baju modern itu, karena ia juga ingin Zainuddin memperhatikan dia pada saat pacuan kuda.
Dari sifat Kadijah seperti yang dijelaskan tadi, maka Kadijah termauk tokoh kontrafeminis yang menentang pakaian atau kebiasaan lama.

D.     Citra Perempuan Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der wijck
Kata citra dapat mengacu pada pengertian semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan (sugi hastuti, 2000:7). Citra perempuan tersebut diuraikan dalam dua bagian, yang pertama adalah citra diri tokoh perempuan yang meliputi citra dalam asspek fisik dan aspek psikis. Bagian kedua adalah citra sosial perempuan yang meliputi citra perempuan dalam keluarga dan citra perempuan dalam masyarakat.
1.      Citra Hayati
Hayati yang dalam analisis terdahulu tergolong kedalam golongan profeminis, pada bagian ini diuraikan pencitraannya.

Citra Diri Hayati
Penggambaran yang diberikan oleh sosok Hayati adalah seorang perempuan desa, yaitu seorang perempuan yang masih mengikuti kebiasaan lama atau masih kuno. Selain penggambaran tersebut Hayati juga menggambrakan bahwa ia perempuan dewasa yang sudah siap untuk menikah atau berumah tangga. Selain diperoleh dari beberapa kasus perjodohan yang dialami oleh Hayati, penggambaran tersebut jelas di gambarkan bahwa adanya perbedaan budaya antara orang Minang Kabau dengan orang Mengkasar. Yang mana orang yang dicintainya berasal dari Mengkasar sedangkan dia berasal dari Minang Kabau. Pembahasan tentang perjodohan yang bermasalah Hayati ini terdapat pada halaman 82-101.
Citra Hayati sebagai seorang dewasa sudah terlihat pada saat meliahat pacuan kuda, dimana ia sudah mau memakai pakaian yang seksi dan ia tidak merasa malu lagi. (hal:71-81). Keinginan untuk memakai baju tersebut membuat penampilan Hayati semakin cantik dan mempesona.
Pada citra perempuan ini, tidak terlihat citra sosial Hayati yang ditampilkan dalam tenggelamnya kapal van der wijck ini.

2.      Citra Khadijah
Khadijah yang dalam  analisis terdahulu merupakan sebagi tokoh kontra feminis. Baggian ini diuraikan pencitraanya sebagai berikut:
Citra Diri Maria
Kalu Hayati berkeinginan untuk memakai budaya lama, sedangkan kadijah lebih menyukai gaya modern. Keinginannya untuk berubah dari kebiasaan lama yang berlandasan kepada gayanya yang berinisialkan orang kota.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa dari aspek fisik Kadijah adalah perempuan dewasa yang sudah bisa membedakan kebudayaan lama dengan yang modern.

Almamater Sebagai Simbol



Mahasiswa adalah bagian dari orang-orang yang termasuk kaum intelektual. Tapi terkadang mahasiswa itu tidak pernah menyadari hal seperti itu. Ia hanya kuliah untuk mencari hiburan dan hura-hura belaka. Kebanyakan mahasiswa sekarang kuliah bukan dengan sepenuh hati, tetapi hanya ada beberapa faktor yang membuatnya untuk kuliah, salah satunya  adalah paksaan atau kehendak dari orang tua.
Pada hakekatnya kehendak orang tua itu bisa saja menjadi motivasi bagi sianak, namun sianak tidak menyadari hal yang demikian. Malahan kehendak orang tua yang ingin anaknya menjadi seorang yang sukses itu malahan  selalu diabaikan oleh sianak.
Seperti halnya dikampus-kampus, yang pernah saya temukan, ada  salah seorang mahasiswa yang mengatakan bahwa “saya kuliah bukan untuk saya, tetapi untuk orang tua saya, karena orang tua saya yang menyuruh untuk kuliah”. Nah, dalam arti kata mahasiswa tersebut tidak memikirkan dan tidak mencerna apa yang disampaikan oleh orang tuanya. Padahal, yang disampaikan/kehendak orang tuanya itu, hanya demi masa depannya sendiri.
Selain itu, juga ada faktor yang tidak mendukung mahasiswa menjadi lebih pintar/kritis/intelektual disuatu kampus, yaitu faktor sarana. Sarana yang kurang memadai juga akan membuat mahasiswa menjadi lebih malas untuk berusaha menggali ilmu (belajar). Karena, kebanyakan mahasiswa sekarang berkuliah hanya tergantung pada sarana yang ada. Misalnya saja Sarana yang kurang nyaman tidak akan membuat mahasiswa bersemangat untuk berkuliah. Dalam suatu istilah “mahasiswa sekarang hanya melihat baground, bukan melihat kualitas”.
Andaikan saja, apabila mahasiswa sadar dengan apa tujuannya untuk kuliah, dan kenapa orang tuanya memaksa untuk berkuliah, maka dari itu akan banyak terlahir kaum intelektual yang berasal dari mahasiswa. Sayangnya pada saat sekarang ini masih belum maksimal hal itu terjadi. Karena seperti yang sudah ulas pada awal paragraph tadi, bahwa mahasiswa sekarang banyak yang hura-hura untuk  berkuliah.
Mahasiswa yang sadar akan apa tujuannya untuk  berkuliah, biasanya mahasiswa tersebut selalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan perkuliahan. Seperti halnya pernah saya temukan salah seorang mahasiswa  berinisial AG yang sibuk dengan kegiatan kuliah maupun ikut organisasi yang ada di kampus. Setelah ditanya, kenapa dia bisa sibuk seperti itu?  Ia mengatakan bahwa “ilmu itu untuk dirinya dan untuk semua orang”. Nah dengan demikian, Menurut saya, mahasiswa seperti ini patut ditiru, karena dia sadar akan apa yang ingin dicapai dan untuk apa tujuannya berkuliah.
Maka dari itu, mahasiswa yang sadar dengan apa tujuannya berkuliah akan berbeda kemampuannya dengan mahasiswa yang hanya hura-hura, baik dibidang ilmu pengetahuan umum maupun dibidang intelegen (intelektual) masing-masing individu.
Dan pada hakikatnya, untuk menjadi mahasiswa yang intelektual itu tidak semudah apa yang telah kita pikirkan selama ini. Paling tidak seorang mahasiswa yang intelektual itu sudah bisa memikirkan hal yang terbaik untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Jadi, apabila  kita ingin menjadi sebagai mahasiswa intelektual yang sesungguhnya, mulailah dari sekarang untuk berpikir yang lebih baik agar tujuan kita tercapai.

Untukmu Guruku



Kemarin kau masih terlihat sehat,  anggun, cantik, dan bahkan menawan
Namun, sekarang  Waktunya sudah tiba,
Saatnya kau kembali kepada-NYA. 
Apakah mungkin itu semua mu'jizat bagimu?

Sekarang hanya tinggal nama yg terukir ϑȋ̝̊̅̄ batu itu.
Semua kenangan, ilmu, dan segalanya kau tinggalkan begitu saja padaQ.
Aku tak ingin kecolongan, ataupun menyianyiakannya, akan ku genggam semua yang telah kau berikan.

Bukan aku rakus, tapi memang engkau mengajariku untuk selalu lapar menuntut ilmu.

#Selamat jalan Ibu Harmeniati, semoga engkau tenang di alam sana.. Aminn

(11 februari 2014 )