Analisis kritik sastra feminis
terhadap penokohan, latar, judul, dan
gaya bahasa dalam tenggelamnya kapal van der
wijck
Analisis struktur novel yang telah diuraikan pada tugas
sebelumnya memuat beberapa masalah, diantaranya masalah sosial, kebudayaan,
agama dan adat istiadat. Masalah tersebut pada intinya mempunyai persamaan
yaitu timbul karena adanya perbedaan pandangan. Selain mempunyai persamaan
keempat masalah yang ada dalam tenggelamnya
kapal van der wijck juga saling bethubungan dan apabila dilihat dari sudut
pandang feminisme berarti menyaran pada masalah emansipasi perempuan.
Pada uraian ini akan dijelaskan masalah feminisme berupa
pokok-pokok pikiran feminisme yang diawali dengan mengungkapkan bias gender
yang dapat dalam masyarakat dan emansipasi hayati sebagai perempuan.
Selanjutnya diuraikan figur tokoh profeminis dan kontra feminis, latar sosial,
judul dan gaya bahasa dalam tenggelamnya
kapal van der wijck dengan
spektif feminis. Analisis ini diakhiri dengan mengungkapkan citra perempuan
dalam tenggelamnya kapal van der wijck.
A. Masalah Feminisme Dalam Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck
Masalah feminisme dalam tenggelamnya
kapal van der wijck karena adanya kesadaran para tokoh terhadap adanya bias
gender yang hidup dalam masyarakat. Bias gender terdiri atas dua kata. Bias
berarti simpangan (TPK, 1999:129). Echol & Sadli (1996:630) mengartikan
bias sebagai prasangka, sedangkan biased yang tergolong kata sifat berarti
berat sebelah atau condong berprasangka.
Konstruksi sosial yang melahirkan
perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
bias gender yang oleh Fakih (1999:12) disebut sebagai ketidak adilan, terutama
terhadap kaum perempuan. Ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai
bentuk, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi
atau anggapan tidak penting dalam
keputusan pollitik, pembentukan melalui stereotype atau melalui pelabelan
negative, kekerasan, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta
sosialisasi ideology nilai peran gender (Fakih, 1999:12-13).
1.
Masalah feminisme Yang Terungkap
Dalam Penokohan
Bias gender yang pertama yang
terungkap dalam penokohan ialah kesangsian seorang mamak terhadap kemampuan
perempuan/kemenakannya. Hal ini dapat diketahui
dari sikap mamak terhadap kemampuan kemenakannya yang tinggal di
selingkungan kampung. Ia menyangsikan bahwa kemenakan itu dapat beradaptasi
dengan cara menuntut ilmu agama sekali se-jumat (23). Berikut kutipan suasana
kampung tempat tinggalnya: “meskipun adat
masih kuat, namun gelora pelajaran dan kemajuan agama yang telah berpengaruh di
Sumatra Barat, tidak juga melepaskan rumah adat yang kokoh itu dari
cengkramannya. Meskipun kehendak dari mamak dari yang tua-tua hendak menahan
juga anak kemnakannya yang perempuan menuntut ilmu, namun halangan itu percuma
saja. Gadis-gadis seisi rumah itu, yang selama ini turun se-jumat diiringi
dayang-dayang banyak, sekarang telah mengepitt kitab, melilitkan selendang pula
pergi menuntut ilmu” (hlm.23).
Pengertian adaptasi yang digunakan
oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk suatu proses makhluk-makhluk hidup
menyesuaikan dirinya dengan alam sekitar dalam ilmu sosiologi disebut dengan
akomodasi. Istilah akomodasi digunakan dalam arti yaitu untuk menunjuk pada
suatu keadaan dan untuk menunjuk suatu proses. Akomodasi menunjuk pada suatu
proses keadaan berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium) interaksi antara orang per orang dan kelompok-kelompok
manusia dalam kaitannya dengan norma-norma ssosial dan nilai-nilai sosial yang
berlaku di dalam masyarakat.
Bias kedua yang terungkap dalam
penokohan ini adalah mengenai masalah cinta yang dapat membuat perempuan
kehilangan kepribadiannya. Percintaan antara Hayati dan Zainuddin yang
merupakan salah satu hal yang telah menghadirkan suasana romantik
Hayati adalah figur perempuan yang
dapat berubah kepribadiannya oleh karena cinta. Hayati berwatak mudah
terpengaruh, yang bergantung kepada kata-kata temannya si kadijah. Yang asal
mulanya ia suka memakai baju kebaya, akhirnya Hayati mau saja menukar pakaian
adatnya (baju kebaya) dengan pakaian modern yang kelihatan agak seksi, yang
kelihatan pangkal dadanya, hayati beranggapan bahwa pakaian itu bisa menarik
perhatian Zainuddin dari pada pakain kebaya yang dimilikinya (hal. 72). Berbeda
dengan Kadijah, Hayati yang suka dengan pakai adat (kebaya), sedangkan kadijah
tidak suka sama sekali, karena dianggap sudah kuno atau pakaian kampong, yang
tidak bias menandingi pakaian kota.
Konflik antara Hayati dan Kadhijah
mengenai masalah pakaian membuat perbedaan antara Hayati dan Kadijah semakin
terlihat. Pada konflik tersebut kadijah menjelaskan kepribadiannya. Hal yang
perlu diperhatikan adalah mengapa Hayati dan Kadijah berbeda, padahal keduanya
sama-sama orang padang panjang/minang kabau yang memiliki aturan yang sama.
Disini tampak bahwa kekurangan novel ini adalah tidak memberikan gambaran
peraturan adat masa lalu. Misalnya menggambarkan bagaimana aturan pemakaian
baju yang harus diikuti oleh ibu-ibu mereka diwaktu dulu. Dari perbedaan
tersebut sipembaca bisa mengetahui atau menilai pola pikir yang dimiliki
masing-masing tokoh tersebut berbeda.
Bias ketiga yang terdapat dalam novel
ini adalah sifat perempuan yang memiliki keberanian yang tinggi dari pada
laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari, beraninya Hayati dan suaminya(aziz)
datang kerumah zainnuddin, padahal hati Zainuddin disaat itu sakit sekali
karena orang yang dicintainya nikah dengan orang lain. dan pada saat itu
pulalah Hayati datang membawa suaminya kerumah zainuddin untuk melihat
Zainuddin yang sedang sakit. Berikut kutipan ceritanya:
“pagi-pagi
pukul 9 berhentilah bendi Hayati dimuka rumah Zainuddin di silaing, dia
diiringi oleh suaminya Aziz yang kelihatan nyata dimuknya bahwa ia amat
keberatan. (hal 134)”
Dari prilaku Hayati tersebut pembaca
dapat menilai bahwa hayati tersebut adalah perempuan yang pemberani.
Bias keempat yang terdapat dalam
novel ini adalah sifat perempuan yang tidak bisa mempertahankan perasaanya
terhadap laki-laki. Disini digambarkan bahwa hayati tidak bisa mempertahankan
rasa cintanya kepada zainuddin, karena mamak Hayati tidak setuju kemenakannya
kawin dengan zainuddin. Mamaknya memaksa nikah dengan Aziz. Dikarenakan Aziz
adalah orang minang asli, sedangkan Zainuddin adalah orang luar atau bukan
orang minang masuk atau tinggal ditanah
minang. Dari keputusan tersebut Hayati hanya bias menerima keputusan mamaknya
dan tidak bias mempertahankan rasa cintanya terhadap Zainuddin.
2.
Masalah Feminisme Yang Terkandung
Dalam Latar
Masalah feminisme yang terdapat dalam
novel ini salah satunya ditekankan pada latar budaya. Bias gender yang terdapat
dalam ini ialah pemahaman antara perbedaan adat minang kabau dengan adat
mengkasar, hak inilah yang membuat seorang perempuan minang kabau tidak bisa
menikahi laki-laki yang berasal dari suku mengkasar atau bukan suku dari
minang. hal inilah yang menimbulkan rasa cinta Hayati ke Zainuddin menjadi
putus.
Dengan demikian, sering kali dari
perempuan diperoleh kesan bahwa mereka kurang percaya diri, atau kurang
berpendirian . ketika rasa cintanya tumbuh maka dia tidak bisa untuk
mempertahankannya, mereka kelihatan ragu-ragu dalam mengambil suatu keputusan.
Keraguan seperti ini biasa terjadi, karena seorang perempuan yang sedang jatuh
cinta menganggap bahwa keberhasilan dalam mengambil suatu keputusan tidak akan
sejalan dengan persaan yang sedang dirasakan.
Hal ini dapat terlihat pada saat
mamak-mamak Hayati mengadakan rapat ditengah rumah, dalam rangka untuk
mencarikan jodoh untuk hayati. Mamak-mamak menegaskan bahwa jodoh yang cocok
untuk Hayati adalah Aziz. Pada saat tengah
mamak itu membicarakan tentang kehidupan aziz, tiba-tiba menjawab bahwasannya Hayati masih sangat cinta
terhadap Zainuddin, mendengar pembicaraan tersebut semua mamak dan yang ikut
hadir(urang sumando) tercengang-cengang mendengarnya (hal103).
Dari peristiwa diatas maka
marginalisasi perempuan menjadikan perempuan sebagai warga kelas kedua yang
keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Dikotomi nature dan culture telah
digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan strafikasi antara perempuan dan
laki-laki. Perempuan yang mewakili sifat alam (nature) harus ditunjukkan agar
mereka lebih berbudaya (culture). Usaha membudayakan perempuan tersebut telah
menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimbangan hubungan
antara perempuan dan laki-laki. Implikasi dari konsep dan kommon sense tentang
pemosisian yang tidak seimbang telah menjadikan kekuatan didalam pemisahan sektor
kehidupan, yaitu domestik dan publik. Perempuan dianggap orang yang berkiprah
dalam sektor domestik dan laki-laki ditempatkan sebagai kelompok yang berhak
mengisi sector public (Abdullah, 1997:3-4). Dengan demikian tenggelamnya kapal
van der wijck terdapat ideologi gender yang membedakan perempuan dengan
laki-laki bukan hanya berdasarkan jenis kelamin, melainkan juga berdasarkan
peranan setiap jenis kelamin. Akhirnya, masyarkat diberi kesan bahwa perempuan
terlalu memilih pekerjaan yanh tidak kerja keras dan jadwal waktu yang ketat.
Kaum perempuan kemudian juga dianggap peragu, kurang percaya diri, tergantunmg
dan mudah menyerah kepada keadaan (Soeripto Via Salim, 1999:5).
3.
Masalah Feminisme Yang Terdapat Dalam
Judul
Penggunaan nama “kapal” mempunyai makna yaitu merupakan sebuah
alat transportasi yang digunakan dalam peristiwa yang diceritakan dalam novel
ini. Sedangkan penggunaan kata “tenggelam”
telah diketahui bahwa “hancurnya” kapal tersebut.
Dari judul dapat kita ketahui bahwa novel ini bukan
sekedar perintang waktu, melainkan sebuah novel bertedensi. Dalam judul ini
disimbolkan peranan wanita hanya sebagi sosok seorang gadis yang tenggelam
dalam rasa cinta dan pengorbanan yang sia-sia.
4.
Masalah Feminisme Yang Terungkap
Dalam Gaya Bahasa
Perempuan dimasa lalu dilukiskan oleh
Hayati sebagai makhluk yang mudah menurut kata laki-laki. Hayati yang dikenal
penurut yang tidak bisa mengambil keputusan
suatu (128).
Terdapat beberapa penjelasan kenapa
dimasa lalu perempuan selalu menurutkan kata laki-laki. Pertama, perempuan
tidak mempunyai pikiran sendiri, kedua, perempuan tidak mempunyai pandangan
sendiri, ketiga perempuan tidak mempunyai hidup sendiri. Sifat penurut itu
adalah jalan menuju cinta, kesungguhan hati menuju kasih saying dan setia
membangkitkan kepercayaan. Bukan keturunan
bukan kekayaan dan kecantikan yang menjadi tiang perkawinan. Hanyalah
semata-mata sifat penurut penyesuaian diri akan kemauan laki-laki/suami
kepandaian menjaga dan merahasiakan yang tak usah diketahui orang lain, hanya
itulah yang harus dipelajari.
B. Emansipai
Emansipasi adalah perjuangan
seorang/tokoh perempuan dalam memperjuangkan hak-hak wanita. Perjuangan perempuan berarti pelepasan diri perempuan
dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah yang membatasi kemungkinan untuk
perkembangan dan kemajuan (TPK, 1999:258).
Jadi pda novel tenggelamnya
kapal van der wijck ini tidak ada
digambarkan atau diperankan bagaimana Emansipasi wanita tersebut. Pada novel
ini dilihatkan hanya perjuangan seorang lelaki dalam mencari jati dirinya. Ibu
Zainuddin yang berasal dari kota mengkasar sedangkan ayahnya berasal dari
Minang Kabau. Pada saat Zainuddin masih
kecil ibunya meninggalkannya untuk selama-lamanya (hal:10). Berikut kutipan
ceritanya:
“`ini dia daeng,`
ujarku lalu engkau kuambil, ah zainuddin engkau masih ketawa aja diwaktu itu,
tak engkau ketahui bahwa ibumu akan meninggalkanmu untuk selama-lamnya, engkau
tertawa dan melonjak-lonjak dalam pangkuanku. Aku bawa engkau kemukanya. Maka
dibarutnyalah sebarut badanmu dengan tangannya yang tinggal jengat pemalut
tulang, digamitnya pula ayahmu, ayahmu yang matanya yang telah balut itupun
mendekat pula. Ia berbisik ketelinga
ayahmu: Jaga Zainuddin Daeng” (hal:11)
Kutipan diatas menggambarkan waktu atau kisah dimasa
lalu, yang pada saat Zainuddin masih kecil dan saat itu ibunya akan
meninggalkan Zainuddin untuk selama-lamanya.
Setelah Zainuddin besar dan ia pun ingin mencari
keluarga ayahnya atau mandenya ke Minang Kabau. Zainuddin berusaha bagaimanapun
juga dia akan pergi ke Padang Panjang untuk bertemu mandenya. Sebelum dia
berangkat Zainuddin telah mengetahui tentang sistem keturunan di Minang Kabau
yang keturunannya menurut ibu, sedangkan di Mengkasar menurut keturunan ayah.
Zainuddin yang beribukan kepada orang Mengkasar, ia yakin bahwa saat pergi ke
Padang Panjang ke tempat mandenya, ia pasti diterima dengan senang hati.
Setelah Zainuudin sampai dipadang panjang iapun
bertemu dengan mandenya, mendenya menerima dengan senang hati karena ia
kedatangan pemuda yang gagah dan beran.i ia seakan merasa bintang jatuh dari
langit, karena tak menyangka-nyangka ia memperoleh anak muda (hal:20).
Setelah lama tinggal dirumah mandenya Zainuddin pindah
dan tinggal sendiri dirumah yang tak jauh dari kampong mandenya itu, karena
Zainuddin merasa tidak senang karena ia dikatakan orang-orang sekampung dia
orang pendatang dan bukan dianggap sebagai orang Minang atau ketrunuan Minang
Kabau.
Dari peristiwa diatas tampaklah perjuangan Zainuddin
dalam mencari jati dirinya dan mencari nenek monyangnya. ia ingin sekali
tinggal bersama mande dan bakonya di padang panjang, tetapi karena orang-orang
diseklilingnya mengatakan orang pendatang maka dia pindah dan tinggal sendiri
dirumah yang tak jauh dari rumah
mandenya.
Emansipasi Perempuan Yang Muncul
Dalam Latar Sosial
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa
seks atau jenis kelamin bersifat kodrat, yang dibawa sejak lahir dan tidak
dapat diubah. Demikian pula maka diketahui bahwa seorang manusia lahir dengan
struktur biologis yang lengkap termasuk otak untuk berpikir, harus diakui pula
bahwa hal tersebut merupakan kodrat. Dengan demikian kemampuan berpikir harus
diakui dimiliki oleh setap manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Hal ini
menunjukkan bahwa perempuan memiliki pemikiran sendiri, dan hidup sendiri.
Kontruksi sosiallah yang telah merubahnya sehingga perempuan berada dalam
subordinassi laki-laki da tidak mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu
sendiri.
Pada novel tenggelamnya kapal van der
wijck tidak terlihat emansipasi perempuan dalam latar sosial maupun budaya.
Pada novel tenggelamnya kapal van der wijck hanya gambarkan perjuangan
laki-laki dalam latasr sosial. Zainuddin yang tinggal di Padang Panjang dan di
anggap oleh orang sekampung sebagai orang pendatang dan tidak diakui sebagai
garis keturunan dari nenek monyangnya. Dari peristiwa tersebut Zainuddin tetap
tinggal dan bertahan di Padang Panjang meskipun keadaanya seperti itu (hal:20).
Berikut kutipannya:
“mula-mula datang sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai kenegeri
yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan-kesebulan,
kegembiraan itu hilang sebab rupanya yang dikenang-kenang berlainan dengan yang
dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati mbak base, tidak mendapat
kecintaan ayah dan bunda, bykan orang tak suka kepadanya tetapi suka saja,
tetapi berlainan kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia
anak orang Minang Kabau tulen, di massih dipandang orang pendatang, masih
dipandang orang jauh, orang bugis orang mengkasar” (hal:20)
C. Para Tokoh Perempuan: Profeminis
Dan Kontra Feminis
Dalam subbab penokohan, telah
diuraikan perbedaan antara Hayati dan Kadijah.
Akan tetapi mereka akan mempunyai titik dan tujuan yang sama, yaitu
pribadi mereka sebagai seorang gadis yang telah memenuhi ciri-ciri kedewasaan.
Menurut Kartini-Kartono(1922:170-171), ciri-ciri kedewasaan seorang anak gadis
diantaranya ialah mempunyai rencana dan tujuan hidup, mempunyai kerja atau
karya, bertanggung jawab terhadap apa yang dibuat oleh dirinya, mandiri,
berpartisipasi dan konstruktif sebagai warga masyarakat, dan berkepribadian
stabil.
Meskipun memiliki ciri-ciri yang
sama, ciri-ciri kedewasaan tersebut diekspresikan secara berbeda oleh keduanya
karena mereka mempunyai interpretasi sendiri terhadap makna tujuan hidup,
kerja, tanggung jawab, mandiri, amsyarakat dan kepribadian. Hal inilah yang
dapat membedakan keduanya dalam golongan profeminis dan kontrafeminis. Tokoh
profeminis menggolongkan tokoh yang setuju dan memperjuankan ide feminis.
Sedangkan kontra feminis digunakan untuk menggolongkan tokoh yang tidak
memperjuangkan, bahkan menentang ide feminis.
Analisis terhadap tokoh profeminis
dan kontarafeminis ini dibagi dalam dua bagian. Yang pertama adalah analisis
terhadap tokoh-tokoh profeminis. Yang kedua adalah analisis terhadap
tokoh-tokoh kontrafeminis yang berfungsi menunjukkan perbedaannya dengan
tokoh-tokoh profeminis. Bagian terakhir adalah ungkapan citra perempuan dari
tenggelamnya kapal van der wijck.
1.
Tokoh-Tokoh Profeminis
Menurut kartini-kartono (1922:217),
ada pribadi-pribadi tertentu yang sangat egosenteris dan egoistis dengan rasa
keakuan dan cinta diri sendiri yang berlebihan. Cinta diri yang sedang adalah
normal, bahkan sangat perlu untuk mempertahankan harga diri dan harkat pribadi.
Akan tetapi, jika narsisme dan egoism ini sangat ektrim, sifat-sifat tersebut
pasti akan mempersukar daya menyesuaikan diri seseorang terhadap orang lain.
Dalam tenggelamya kapal van der wijck tokoh utamanya (Hayati) mendukung
sekali feminism, terutama tentang pakaian adat/budaya yang dimilikinya. Berikut
kutipan ceritanya:
“Hayati melihat kepada kadijah tenang-tenang. Tercengang dia melihat
pakaian yang dipakai oleh sahabatnya itu, kebaya pendek yang jarang dari pola
halus, dadanya terbuka seperempat, menurut mode yang paling baru. Kutangpun
model baru pula sehinggaa agak jelas pangkal susu, dan tidak memakai salendang,
sarung adalah batik pekalongan halus, bersolop tinggi tumit pula, ditangan
memegang sebuah tas, yang didalamnya cukup tersimopan cermin dan pupur”
(hal:72-73).
Dari kutipan diatas terlihat Hayati
tidak menyetujui pakaian model baru itu, karena bertentangan dengan kebudayaan
di Minang Kabau. Bahkan disaat ia disuruh kadijah memakai baju itu bahkan ia
menolak. Berdasarkan prinsip Hayati tersebut, maka Hayati termasuk profeminisme
yang digambarkan dalam tenggelamnya kapal van der wijck.
2.
Tokoh-Tokoh Kontrafeminis
Dalam tenggelamnya kapal van der wijck terdapat beberapa kontrafeminis.
Yang utama adalah Kadijah. Kadijah tidak suka dengan sifat Hayati sebagai
profeminis. Ia sangat menentang tentang pendapat Hayati yang masih memakai
pakaian lama. Dalam tenggelamnya kapal van der wijck Kadijah menentang pakain
Hayati yang seperti pakaian jadul atau ketinggalan. Barikut kutipan ceritanya:
“merengut kadijah sekali: “lebih baik kau pergi kesurau saja Hayati
jangan kepacuan!!”
“saya malu memakai pakaian demikian, khadijah, tidak cocok dengan diriku
aku tidak bias.
“itulah yang akan dibiasakan.”
“pakaian ini tidak diadatkan dinegeri kita.”
“dahulu yang tidak, kini inilah pakaian yang lazim.”
“saya tidak mau membuka rambut.”
“membuka rambut apakah salahnya? Bukankah panas kalau ditutup saja?”
“sebetulnya saya tidak punya pakaian demikian kata hayati pula”
“
Itu gampang, pakailah pakaianku, itu tersedia dalam lemari. Berapa saja kamu
mau.” (hal:73)
Dari peristiwa diatas Nampak bahwa
khadijah menentang bahwa budaya lama atau kebiasaan lama tidak bisa dipakai
lagi untuk zaman modern seperti sekarang. Karena apabila memakai pakaian yang
kuno akan menyebabkan kita ketinggalan zaman. Jadi khadijah memaksa Hayati
untuk memakai pakaian yang model baru yang kelihatan pangkal susunya, yang akan
bisa menarik perhatian anak muda sekarang.
Dengan melihat sifat Khadijah seperti
itu akhirnya Hayati mau juga memakai baju modern itu, karena ia juga ingin
Zainuddin memperhatikan dia pada saat pacuan kuda.
Dari sifat Kadijah seperti yang
dijelaskan tadi, maka Kadijah termauk tokoh kontrafeminis yang menentang
pakaian atau kebiasaan lama.
D. Citra Perempuan Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der wijck
Kata citra dapat mengacu pada
pengertian semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian
perempuan (sugi hastuti, 2000:7). Citra perempuan tersebut diuraikan dalam dua
bagian, yang pertama adalah citra diri tokoh perempuan yang meliputi citra dalam
asspek fisik dan aspek psikis. Bagian kedua adalah citra sosial perempuan yang
meliputi citra perempuan dalam keluarga dan citra perempuan dalam masyarakat.
1.
Citra Hayati
Hayati yang dalam analisis terdahulu
tergolong kedalam golongan profeminis, pada bagian ini diuraikan pencitraannya.
Citra Diri Hayati
Penggambaran yang diberikan oleh
sosok Hayati adalah seorang perempuan desa, yaitu seorang perempuan yang masih
mengikuti kebiasaan lama atau masih kuno. Selain penggambaran tersebut Hayati
juga menggambrakan bahwa ia perempuan dewasa yang sudah siap untuk menikah atau
berumah tangga. Selain diperoleh dari beberapa kasus perjodohan yang dialami
oleh Hayati, penggambaran tersebut jelas di gambarkan bahwa adanya perbedaan
budaya antara orang Minang Kabau dengan orang Mengkasar. Yang mana orang yang
dicintainya berasal dari Mengkasar sedangkan dia berasal dari Minang Kabau.
Pembahasan tentang perjodohan yang bermasalah Hayati ini terdapat pada halaman
82-101.
Citra Hayati sebagai seorang dewasa
sudah terlihat pada saat meliahat pacuan kuda, dimana ia sudah mau memakai
pakaian yang seksi dan ia tidak merasa malu lagi. (hal:71-81). Keinginan untuk
memakai baju tersebut membuat penampilan Hayati semakin cantik dan mempesona.
Pada citra perempuan ini, tidak
terlihat citra sosial Hayati yang ditampilkan dalam tenggelamnya kapal van der
wijck ini.
2.
Citra Khadijah
Khadijah yang dalam analisis terdahulu merupakan sebagi tokoh
kontra feminis. Baggian ini diuraikan pencitraanya sebagai berikut:
Citra Diri Maria
Kalu Hayati berkeinginan untuk memakai
budaya lama, sedangkan kadijah lebih menyukai gaya modern. Keinginannya untuk
berubah dari kebiasaan lama yang berlandasan kepada gayanya yang berinisialkan
orang kota.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa dari aspek fisik
Kadijah adalah perempuan dewasa yang sudah bisa membedakan kebudayaan lama
dengan yang modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar